
https://indonesia.go.id
Pembelajaran jarak jauh enaknya diteruskan atau tidak?
“Pak, Bu, aku kangen temen-temen, kangen juga sama guru-guru. Kapan bisa berangkat lagi?” Begitulah keluhan anak-anak selama pandemi ini yang sudah berlangsung berbulan-bulan.
Orang tua pun hanya bisa tersenyum sambil menahan tangis dan berkata “sabar ya nak, tunggu pengumuman”
Mau bilang virus, seperti berat rasanya, meski mereka sudah tahu. KBM pun terpaksa dilakukan dengan daring demi keselamatan bersama.
Ada juga yang sudah masuk dengan menerapkan protokol kesehatan, namun sepertinya belum banyak. Akhirnya, wali murid ya harus rela merogoh tabungannya untuk membeli kuota internet.
Bahkan yang miris, ada juga yang sampai berhutang dan pinjam HP tetangga. Ya kita semua tahu kalau anak-anak psikologinya sedikit terganggu karena terpisah dengan teman-temannya.
Maklum, bagaimanapun juga, secanggih-canggihnya alat bernama HP, tablet komputer atau laptop plus internet, tetap saja masih lebih enak ketemuan.
Ya, secara psikis, pertemuan lebih asyik dan menyenangkan dibanding dengan lewat gawai atau laptop.
Mau melawan sistem – baik yang ditetapkan pemerintah maupun ahli medis, ya belum bisa, bahkan tidak bisa. Sistem masih mengharuskan belajar di rumah.
Kalaupun mau nekad mengadakan KBM di sekolah dan semuanya masuk, akibatnya bisa bahaya.
Guru dan orang tua juga pastinya pusing dan galau. Harus bagaimana ini, mau sampai kapan seperti ini terus, masa’ ndak ada solusinya – selain pembelajaran jarak jauh.
Bahkan mungkin ada juga yang bertanya masa’ virus ini ndak hilang-hilang? Sebahaya apa sih? Ya pertanyaan ini akan sering diucapkan secara lisan maupun batin. Sedangkan si anak bisa-bisa (tapi mudah-mudahan tidak) stres.

https://berandakeluarga.wordpress.com
Tidak bisa dipungkiri, kalau sistem ini berlangsung terus menerus – entah sampai kapan, bisa mengakibatkan kejenuhan dan kebosanan berlebih.
Kalau orang tua kan masih bisa kerja di luar meski dengan menerapkan protokol kesehatan. Jadi tidak terasa bosan atau stres (ndak tahu lagi kalau stres karena sebab lain).
Beda dengan anak-anak yang meski sebenarnya bisa dengan protokol, tapi tetap sebagian sekolah memilih untuk tetap melakukan KBM di rumah. Dilema besar memang bagi wali murid dan guru.
Masuk khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan, belum masuk ya khawatir kalau dana untuk internet habis. Kekhawatiran lain ya itu tadi, emosi anak yang labil.
Jangankan sekolah, mau pergi atau ketemu teman-teman di komplek rumah saja rasa-rasanya juga mikir. Betapa sempitnya dunia ☹
Jadi judul kehidupan untuk saat ini memang di rumah saja. Mungkin ada diantara kita yang tetap membiarkan anak bermain tapi tetap pakai masker dan face shield alias penutup wajah.
Itupun lihat dulu main apa. Kalau yang harus berlarian sepertinya kurang nyaman. Paling hanya permainan ringan seperti main kartu, layangan dan yang lainnya.
Susah dan membingungkan ya menghadapi kondisi seperti sekarang ini? Hal ini dikemukakan juga oleh seorang penulis berkebangsaan Amerika, Pamela Cantor.
Selain penulis, ia juga seorang pendiri dan penasihat senior sebuah organisasi bernama Turnaround for Children. Ia menyebut kalau virus ini adalah sebuah paradox.
Demi keselamatan serta kebaikan, setiap orang – usia berapapun diwajibkan untuk selalu menjaga jarak, karena kita tidak tahu siapa yang terjangkit dan positif. Plus pakai masker – seperti yang sudah saya tulis di atas tadi, protokol kesehatan.
Akan tetapi ya gitu, hidup rasanya agak hambar. Mau mendekati siapapun, mau megang apapun, otak selalu memerintahkan hati-hati untuk tidak dekat-dekat, apalagi salaman.
Hati pun selalu diliputi was-was. Sering cuci tangan juga, padahal belum tentu barang yang dipegang itu kotor atau ada virusnya.
Ya namanya juga manusia. Begitulah psikologinya, beda-beda. Ada yang merasa biasa saja, ada juga yang sangat berhati-hati. Saking hati-hatinya, cuci tangan setiap kali memegang benda.

https://katadata.co.id
Termasuk sekolah yang jadi korban, sampai-sampai harus berkorban pulsa demi keberlangsungan pembelajaran. Selain itu juga, tempat-tempat ibadah juga merasakan dampaknya.
Sebagian memilih untuk beribadah di rumah, tapi ada juga yang tetap pergi ke tempat ibadah.
Mungkin bagi mereka yang berangkat berpikir yang penting ikuti protokol kesehatan serta tidak perlu berdebat dengan yang di rumah saja. Jadi tetap saling menghormati.
Masih menurut Cantor, dalam kondisi yang tidak menyenangkan ini, terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah. Ia membahas masalah ini di Amerika, namun mungkin berlaku juga di Indonesia.
Hanya saja, beda sudut permasalahan. Baginya, di negaranya, pemerintah seperti tutup mata. Kalau di sini, bisa dikatakan masyarakatnya yang kurang mau peduli.
Padahal sebetulnya pemerintah sudah memberikan himbauan untuk selalu jaga jarak. Tapi masih banyak yang melanggar.
Kembali ke pemikiran Cantor. Ia melihat ada fenomena kecuekan petugas di tempat umum. Entah apa yang ada di pikiran hati petugas itu.
Entah tidak peduli, tidak berani atau tidak bisa menegur orang yang tidak mau menerapkan protokol. Ia sangat menyayangkan hal ini bisa terjadi.
Di sana, kaum anak muda memang seringkali merasa tidak percaya, bahkan tidak suka dengan kebijakan pemerintah yang dicap kurang baik. Salah satunya ketidaktegasan petugas tadi.
Leave a Reply