
www.kuningankab.go.id
Kerjasama dua guru semakin enak atau malah tambah ribet?
Guru, seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Itu adalah predikat yang sangat mulia di mata manusia dan Tuhan. Ia bukanlah orang sembarangan.
Meski kelihatannya tidak sehebat pengusaha atau bos, ia sudah melahirkan banyak orang cerdas yang ujung-ujungnya bisa duduk di kantor mewah atau jadi pebisnis kelas dunia.
Tempaan mental, semangat pantang menyerah dalam belajar dan berlatih dilakoni selama kuliah.
Bahkan masih ada yang ingin menimba ilmu keguruan lagi sampai doktor. Bisa-bisa profesor. Kenapa kok tinggi sekali levelnya? Tentu agar menjadi guru yang benar-benar berkualitas, hebat, berkompeten.
Bukan hanya sekedar titel Magister dan Doktor saja. Bukan juga menghafal teori-teori guru. Lebih daripada itu semua.
Bagaimana ia bisa menjadi seorang dirigen yang bisa mengatur irama mengajar agar semua siswanya paham.
Yang jadi pertanyaannya adalah, apakah semua guru sudah pasti hebat? Hebat dalam artian tidak butuh bantuan orang lain alias asisten. Jadi ia bisa mengatasi segala masalah setiap anak didiknya.
Tidak ada yang terlewatkan satu pun! Dengan kata lain, guru sempurna.
Guru pastinya harus membuat perencanaan, mulai awal hingga akhir. Mulai awal semester sampai akhir tahun kalau punya program khusus.
Rencananya dipetakan secara rinci, pembuatan perangkat mengajar termasuk metode, media dan target penilaian. Tanpanya, guru hanya bengong.
Selain itu, jam terbang juga sangat menentukan kehebatannya. Jangankan yang masih baru beberapa tahun, yang sudah puluhan tahun kadang masih perlu banyak perbaikan.
Entah aspek emosi, cara mengajar, penggunaan media. Belum tentu juga ketiganya sudah benar. Bisa jadi selama ini ia ngajarnya kurang baik.
Gampang marah, metodenya cuma ceramah dan tanya jawab sampai muridnya ngantuk, medianya ya hanya buku dan papan.
Ndak ada inovasi sama sekali. Pertanyaan selanjutnya, perlukah guru pembantu atau asisten atau mitra ikut ngajar di waktu yang sama dengan guru wali kelas?
Kalau dibayangkan, antara efektif dan tidak. Efektif karena bisa membantu mengawasi anak yang kurang tertib atau yang belum paham.
Kurang efektif karena tidak semua guru suka didampingi – bisa jadi lho. Mungkin ia kurang PD kalau dilihat mitranya meski belum pengalaman.
Ada contoh menarik yang bisa dijadikan inspirasi. Cerita ini datangnya dari negara Paman Sam, Amerika Serikat.
Dua orang guru bernama Eisinger dan Houppert. Mereka mengajar di Sekolah Dasar Naples, New York, kelas 5. Mereka punya program klub buku.
Dari namanya jelas sekali tujuannya, ingin semua muridnya suka membaca dan menguasai isinya. Bila perlu – tentu saja – mempraktikkan kalau memang harus.
Meski ngajar kelas lima, mereka juga ingin anak kelas dua sampai enam juga bisa ikut belajar membaca. Menantang? Pasti.
Untuk beberapa sekolah yang punya fasilitas guru mitra, biasanya ia hanya mengajar satu kelas saja. Tujuannya agar bisa lebih fokus.
Ini perlu kreativitas dan kreativitas selalu dapat mendobrak kemustahilan. Salah satunya bagaimana mengajar kelas yang berbeda, materi berbeda tapi dalam satu waktu.

www.mbis.org
Mereka lalu melakukan metode “cicip buku.” Terdengar lucu memang. Bukan makanan tapi malah buku.
Jadi anak kelas dua sampai enam diberi buku yang berbeda. Pelajaran dan materi disesuaikan dengan kelasnya. Yang sama hanya temanya. Misal tema perdagangan.
Anak kelas dua hanya belajar jenis-jenis uang, kelas tiga teori uang, kelas empat jenis barang yang diperdagangkan, kelas lima teori transaksi, kelas enam simulasi perdagangan.
Tidak harus buku sebenarnya. Boleh pakai artikel yang sudah dicetak. Setelah setiap anak sudah punya pegangan, barulah mereka membaca sekilas tentang perdagangan.
Guru yang sudah ahli – wali kelas – membimbing anak yang kelas empat sampai enam. Sedangkan guru mitra membimbing kelas dua dan tiga (atau sebaliknya, tergantung kesepakatan).
Di luar negeri sudah ada beberapa sekolah yang menerapkan sistem belajar seperti ini. Yang perlu digarisbawahi adalah keterkaitan materi dari kelas dua sampai enam. Jadi setiap ada materi baru, selalu terhubung dengan kelas bawah maupun atas.
Manfaatnya bisa mempercepat dan menyeragamkan tema tanpa harus nunggu naik kelas dulu. Harapannya, anak yang masih kelas dua sudah tahu gambarannya materi kelas tiga sampai enam, meski tidak dihafal atau belum bisa langsung dipahami. Sehingga tidak kaget lagi ketika sudah naik kelas tiga dan seterusnya.
Metode ini mungkin belum ada di Indonesia. Bisa dicoba bila memungkinkan. Yang harus diperhatikan, metode ini sangat memerlukan kerjasama yang baik antar guru senior dan guru mitra.
Guru mitra harus memahami medan dulu. Bagaimana kondisi anak-anak, buku yang dipakai, metode yang bisa ia gunakan.
Guru mitra boleh berkreasi sendiri selama itu tidak menyimpang dari materi. Semisal ia ingin mengadakan permainan, ya ndak papa. Tapi diusahakan tidak sampai keluar kelas, karena ini sistemnya berjalan di dalam kelas.
Guru senior juga harus percaya dengan rekannya ini. Mengajar sambil memperhatikan gerak-geriknya. Khususnya ketika waktunya diskusi. Inilah waktunya untuk beraksi bagi guru mitra.
Yang namanya guru meski sudah senior pasti butuh bantuan, apalagi muridnya banyak. Disinilah peran asisten diperlukan. Kalau dalam satu kelas ada 20 anak, maka guru senior bisa bagi tugas.
Ia membantu anak yang belum bisa – karena ia sudah ahli. Sedangkan yang asisten bisa membantu anak yang sudah bisa. Kan tinggal membimbing sedikit saja.
Leave a Reply