
evandasof.wordpress.com
Berbicara soal angket atau rubrik seperti yang sudah saya bahas di artikel sebelumnya, sebetulnya anak tidak hanya perlu mengisinya saja.
Perlu dituangkan ke sebuah media. Kalau mau jadi penulis otomatis kan ya pakai buku dan alat tulis. Kalau menggambar ya pakai buku gambar atau kanvas.
Jadi anak diberi kesempatan untuk membuat karya sesuai dengan impiannya setelah mengisi rubrik atau angket. Tidak harus berupa tulisan – yang cita-citanya jadi penulis.
Bisa dalam bentuk yang lain. Seperti gambar, powerpoint, audio, animasi dan lain-lain. Setelah karyanya jadi, periksa dan beri penilaian. Perlu diperbaiki atau sudah bagus.
Bagi yang membuat karya berupa gambar – desainer, mungkin yang perlu diperbaiki elemen warnanya, atau obyeknya masih kurang bagus. Saya kira ndak perlu guru desain kok yang ngerti. Setidak-tidaknya menilai secara umum saja.
Tentunya lebih baik lagi kalau guru spesialis yang menilainya
Yang suka utak-atik komputer atau barang elektronik – insinyur, berikan satu komputer untuk dibongkar dan dipasang kembali.
Itupun ada dua pilihan; dilihat dan dihafal penempatan komponen (hard disk, prosesor, memori, kartu grafis) dan alur kabelnya, bisa juga dengan nonton video tutorialnya. Biarkan mereka yang memilih.
Hobi memasak dan memang mau jadi koki andal? Sediakan kompor. Minta ia untuk membawa alat masaknya.
Sekilas info, hobi belum tentu sesuai dengan cita-citanya. Ada yang hobinya sepak bola, tapi ingin jadi pendiri perusahaan teknologi. Itulah saya beri kata “memang” di paragraf sebelumnya.
Dengan adanya timbal balik dari guru terkait hasil karya dan hasil kerja murid-muridnya, anak didik akan semakin terasah kemampuannya untuk meraih cita-citanya.
Timbal balik bisa dilakukan guru secara lisan ketika di kelas berupa tanya jawab. Ketika ada anak yang minta penilaian, suru ia maju ke meja guru atau guru yang menemui di meja murid.
Tertulis tapi juga ditambah penjelasan seperti draft skripsi. Bisa juga pakai aplikasi chat atau email, kalau di luar rumah atau yang tanya banyak sehingga ndak bisa dijawab langsung di kelas.
Saya kira tidak berlebihan kalau sejak kelas lima atau enam sudah dilatih dengan skil-skil tertentu.
Bayangkan saja, kalau sejak SMP saja (anggap SD belum waktunya) sampai kuliah, selama sepuluh tahun, otak tangan dan kaki terus menerus diasah di jalurnya.
Ketika memasuki dunia kerja atau ingin bisnis, sambil memejamkan mata pun bisa. Saking lemesnya, saking terampilnya. Berkat tempaan guru dan orang tua juga tentunya.
Bisa jadi ada pertanyaan, kalau si anak ingin jadi atlet sepakbola, tapi ia punya jantung lemah. Ndak kuat lari lebh dari setengah jam.
Menurut saya – tanpa bermaksud menghakimi – arahkan ke yang lain. Mungkin ia punya potensi lain tapi belum tahu apa dan cara membangkitkannya.
Sepengetahuan saya, orang psikologi yang bisa menggali potensi seseorang, dengan berbagai cara. Bisa dengan memberi lembaran kuesioner atau dengan menyuru anak melakukan sesuatu yang disukainya.
Saya sendiri bercita-cita menjadi blogger sejak kuliah. Bisa dibilang terlambat, kok ndak sejak SMP atau SMA seperti yang sudah saya jelaskan. Tapi alhamdulillah, saya berhasil mewujudkannya dengan banyak belajar dan membaca.
Rasa suka untuk menulis ini ketika saya bekerja sebagai penulis. Lama-lama saya merasa asik. Disitulah lalu saya berpikir “inilah passion saya.”

www.kompasiana.com
Saya kira setiap atau sebagian orang punya lebih dari satu potensi. Saya suka menulis, tapi saya juga suka video editing. Hanya saja terkendala biaya untuk membeli komputer dan handycam.
Saya suka video editing gara-gara pernah memakai handycam milik teman. Hati saya langsung merasa senang karena barangnya keren dan terasa asik mengutak-atiknya. Apalagi mengeditnya di komputer.
Sempat ingin jadi programmer karena kelihatannya bikin program itu asik, tapi karena otak ndak kuat dengan algoritma, saya rubah saja dengan jadi penulis. Jadi saya tidak memaksakan diri.
Meski jadi programmer bisa membuat kaya. Toh kalau ingin jadi kaya, banyak kok profesi lain. Penulis pun juga bisa kaya, seperti novelis JK Rowling, blogger Dawren Rowse.
Mas Ippho Santosa juga menasehatkan lewat bukunya, fokus pada kekuatan, jangan kelemahan. Buang-buang waktu. Kalau fokus pada kekuatan, skill akan terasah.
Sedangkan kalau terus menerus menambal kelemahan, selain buang-buang waktu, otak akan stres karena ndak mampu dipaksakan mampu.

www.alona.co.id
Pilihan nomer 7: bebas menentukan waktu. Salah satu kesulitan anak adalah mengatur waktu. Maklum, namanya juga anak-anak. Seringkali lupa atau ndak sadar kalau sudah keasyikan main, lupa segalanya.
Termasuk tidur dan nonton TV. Bisa overtime kalau tidak diarahkan orang tua di rumah. Menasihati anak memang kewajiban orang tua. Setiap waktu, setiap hari, mulai TK sampai hampir menikah.
Apalagi kalau sudah menyangkut waktu. menyalahgunakan waktu bisa jadi bom yang merugikan anak itu sendiri. Orang tua pun pasti juga ikut kena akibatnya. Coba, anak ndak pernah belajar. Main saja tiap sore atau malam.
Kalau dibiarkan, sudah pasti anak ndak pandai-pandai. Akibatnya, anak ndak naik kelas. Orang tua pasti menanggung malu.
Waktu yang saya maksud disini bukan hanya secara umum saja, tapi juga spesifik. Kapan waktu belajar dan mengerjakan tugas, baik di sekolah maupun di rumah.
Leave a Reply