
www.slideserve.com
Pilihan nomer 5: rubrik penilaian. Sudah hal umum guru memberi penilaian pakai instrumen ini. Dengan ini, guru bisa tahu seberapa jauh pemahaman muridnya terhadap suatu materi. Mulai poin awal sampai akhir. Biasanya terlampir dengan RPP yang diisi dengan skala angka 1-5.
Nah sekarang bagaimana kalau yang menilai murid sendiri. Pasti guru akan berpikir kok enak.
Wajar saja karena kalau anak yang kurang niat, pasti akan meninggikan nilainya padahal belum layak untuk dapat nilai bagus. Sekilas info, cara ini kadang dipraktekkan oleh dosen-dosen tertentu. Lalu bagaimana seharusnya?
Beri mereka selembar kertas yang berisi poin-poin seperti ini; saya sudah memahami materi dasar-dasar tata bahasa Inggris. Saya sudah bisa menggunakannya untuk percakapan. Saya bisa mengerjakan soal-soal tata bahasa Inggris.
Kemudian guru ngetes. Kalau kenyatannya masih dibawah rata-rata, suruh belajar lagi. Diulang-ulang sampai benar-benar meresap ke otak.
Saya buatkan analogi (dan semoga benar analoginya). Kalau anak usia 20 tahun sudah bisa belajar nyetir tanpa sepengetahuan orang tuanya, kemudian anak mau pinjam mobil ayahnya.
Ayahnya percaya saja karena anaknya sudah kursus. Tapi, kalau sampai mobilnya nyrempet alias menyenggol tembok atau pagar, anak akan diskors sekian bulan supaya mau latihan lagi dengan pengawasan sampai benar-benar bisa.
Analogi lain, anak diperbolehkan main game setiap hari. Dia meyakinkan orang tuanya kalau dia sudah paham. Tapi kalau sampai nilainya ada yang jeblok atau ketika ditanyai ndak bisa jawab atau salah, maka dia ndak diperbolehkan main game sampai sekian bulan.
Kalau dites saya kira ndak perlu. Cukup tahu nilainya saja, baik harian atau rapor.
Ya, kebebasan untuk menilai diri sendiri dengan instrumen atau tanpanya (seperti dua analogi yang saya jelaskan) yang ada konsekuensi.
Sehingga ia terlatih untuk jujur pada dirinya dan selain dirinya. Bahasa formalnya obyektif. Kalau subyektif itu penilaian dari diri sendiri, belum tentu benar dari penilaian orang lain.
Ketika anak sudah mengisi rubrik dan sesuai dengan kenyataannya, berarti dia memang sudah paham dan otomatis jujur. Nasehatkan agar jangan membohongi dirinya untuk mengisi rubrik dengan nilai 4 apalagi 5.
Semakin bagus nilai dan kejujurannya, maka ia berhak melaju ke level materi selanjutnya. Kalau belum, lebih baik jangan diteruskan. Ya itu tadi, suruh mengulang dulu. Kalau guru meneruskan padahal belum bisa, justru tambah memberatkannya.
Lha gimana mau belajar percapakan bahasa Inggris, kalau penguasaan kosakatanya masih kurang?
Rubrik bukan hanya untuk menilai kemampuan akademik, tapi bisa juga aspek lain. Seperti bisa kerjasama, penjadwalan kapan mau maju untuk tampil dan lain-lain.
Bahkan bisa dilebur dengan soal. Contoh, kalau mau jadi atlet sepak bola, apa saja yang harus dilakukan? Ada beberapa kolom; minum yang banyak, rajin joging, rajin latihan, rajin nonton TV, banyak makan, banyak nonton TV dan masih banyak lagi kolom yang dibuat.
Bisa dibilang seperti angket psikologi. Jawaban dari sekian pertanyaan ini yang menentukan masa depan anak, meski bukan jaminan akan terjadi. Setidaknya untuk melatih obyektivitas alias kejujuran.
Dari instrumen ini juga guru bisa tahu pelajaran apa yang disukai dan tidak, materi apa yang paling gampang dan susah, berapa menit durasi belajar yang disanggupi. Sehingga Anda bisa menentukan arah belajar dan penilaiannya.
Ini cukup menantang karena kalau durasi dan metodenya beda, otomatis Anda harus putar otak membuatkah metode yang beda dengan durasi yang beda pula.

arif-os.blogspot.com
Pilihan nomer 6: merencanakan cita-cita. Ini kelanjutan dari pilihan sebelumnya yang bagian-bagian akhir. Apa yang harus dilakukan kalau mau jadi presenter berita, atlet, pelukis dan lain-lain. Harus dirinci mulai dari persiapan, pelatihan hingga mendekati impian yang akan jadi kenyataan.
Misal, ada anak yang cita-citanya ingin jadi penulis. Buatkan form yang isinya pertanyaan-pertanyaan berikut; apa cita-citamu, bagaimana usahamu untuk meraihnya, kalau belum bisa apa yang akan kamu lakukan, siapa saja yang bisa membantumu, apa alat dan media bantuannya, seberapa sering kamu melakukannya agar semakin bisa.
Kalau cita-citanya penulis, berarti harus belajar nulis, banyak membaca, sering nonton video inspiratif tentang kepenulisan. Dibantu oleh kakak dan teman
Ini masih dipecah lagi. Mau nulis tentang apa. Apakah cerpen, novel, artikel, berita. Jelaskan apa bedanya. Serinci ini ya?
Iya, karena impian memang memerlukan pengorbanan, salah satunya pikiran dengan membedah setiap elemen tiap bidang seperti yang saya tulis di awal dan pertengahan nomer enam ini.
Guru bisa membantu untuk merevisi hasil kerja anak didiknya yang berhubungan dengan impiannya. Misal kalau mau jadi dokter tapi belajarnya komputer, kan jelas keliru.
Mungkin ia berpikir kalau dokter ada yang mendiagnosa penyakit dengan komputer. Betul memang, tapi ilmunya tetap kedokteran. Komputer hanya alat bantu saja.
Yang kasihan kalau mereka salah jurusan ketika kuliah karena tidak pernah diarahkan ketika SD atau SMP. Pokoknya diajari, dapat nilai bagus, selesai. Ada lho guru atau sekolah dengan tipe ini.
Leave a Reply