
https://smpn10surabaya.sch.id
Bisakah Kepala Sekolah memimpin tanpa pengalaman?
Kepala Sekolah (Kepsek/Kasek) adalah insan yang mempunyai tugas berat. Ia harus bisa memimpin dengan baik agar sekolahnya bisa menjadi sekolah unggulan.
Tak perlu muluk-muluk se-Jawa atau se-Indonesia, minimal terbaik se-kota saja sudah bagus. Kepsek juga orang yang dijadikan panutan oleh semua guru, karyawan, murid dan orang tua.
Coba kalau Kepseknya kurang tegas, otomatis anak buahnya bingung semua. Ada anak yang orang tuanya telat bayar SPP terus-terusan dimaklumi, padahal itu bisa merugikan sekolah.
Seorang Kepsek yang ditunjuk dengan cara bersih pasti memimpin dengan benar, bukan sebaliknya, karena ia sudah sangat memahami semua hal di sekolah.
Ada diskusi menarik terkait pimpinan sekolah. Kriteria apa saja yang dibutuhkan, seperti lulusan strata berapa (S1, 2, atau 3), berapa lama mengajar, bagaimana sifat dan sikapnya selama jadi guru, apa prestasinya jika ada, bagaimana caranya menjalin keakraban dengan orang tua atau pihak luar seperti perusahaan atau supplier buku, dan lain-lain.
Seorang Kepsek di Amerika – sebut saja Michael – berbagi pengalamannya setelah bekerja sekian tahun menjadi seorang guru di beberapa sekolah sampai sukses memimpin sekolah.

https://pursuit.unimelb.edu.au
Pengalaman pertama, mengajar. Ini syarat yang jadi pondasi utama untuk jadi Kepsek. Mengajar selama bertahun-tahun saja belum cukup, karena modal untuk memimpin sekian guru agar muridnya berkualitas semua butuh proses yang amat panjang. Setidaknya sekitar sepuluh tahun yang ia jalani untuk menguasai medan.
Mulai dari ngajar semua kelas, semua pelajaran bagi jenjang SD, jadi wali kelas beberapa kali, sehingga kemampuan mengajar dan mendidik akan terasah.
Bukan cuma membuat anak pintar, tapi bagaimana menanamkan ajaran moral yang baik. Yang namanya pemimpin sudah pasti dicurhati masalah anak buahnya.
Ketika ada anak yang nilainya belum bagus dan gurunya bingung harus bagaimana padahal sudah diajari dengan maksimal, Kepsek harus turun tangan.
Tentunya dengan bantuan guru lain. Kepsek juga manusia. Pada awal-awal mengajar, Michael tidak tahu harus berbuat apa. Ia masih medioker alias rendahan, apalagi ia bukan lulusan guru, juga tidak pernah berpikir untuk menjadi ahli ngajar.
Tapi ia terus berusaha bagaimana agar semua muridnya bisa memahami apa yang ia ajarkan dengan diskusi pada guru-guru yang sudah senior. Itu bisa terkait dengan bagaimana menenangkan anak yang ramai, bandel, susah menguasai materi, dan malas.
Demi merubah sistem belajar yang ia anggap kurang bagus, ia bertekad sepenuh hati dan jiwa, bekerja ekstra keras mengasah keterampilan mengajar dan memahami psikologi anak agar bisa jadi Kepala Sekolah yang hebat dan disegani.
Selain dengan diskusi, ia memutuskan untuk kuliah S2 (disebut Master Degree di luar negeri). Pada saat S2, ia sedang menjadi wali kelas. Tidak mudah, but show must go on.
Sambil kuliah, ia melihat bagaimana rekan-rekannya mengajar, karena ia sadar masih pemula. Ada keunikan yang terjadi, meski rekannya lebih piawai dalam mengelola kelas, tapi ia melihat ada celah kekurangan; mendengarkan keluhan anak!
Ia pun berpikir, ternyata mengajar tak hanya “berdiri dan ceramah.” Namun bagaimana caranya agar anak SENANG belajar. Kalau sudah senang, otak mereka akan PAHAM dengan sendirinya. Kalau pelajarannya benar-benar sulit? Asal gurunya kreatif, sabar dan telaten, masih bisa kok.
Jadi misal anak mengeluh karena metodenya membosankan, guru sebaiknya punya cara cerdas nan kreatif untuk meracik formula apa yang tepat. Jangan berpikir “lho saya kan guru, masak harus nuruti mereka?”
Selama permintaan mereka masih bisa Anda sanggupi dan masuk akal, turuti saja. Apa gunanya kalau Anda nyuruh mereka hafalan rumus Matematika atau Fisika tapi gak bisa. Mau ngancam?
Jiwa mereka semakin tertekan. Okelah, setelah Anda ancam mereka terus bisa, tapi kan kasihan, belajarnya jadi tidak terasa menyenangkan.
Sangat dianjurkan guru itu kreatif agar muridnya betah belajar sehingga paham dengan materi, efeknya nilai bagus. Anak, guru, Kepsek dan orang tua senang semua.
Setelah menerapkan semua isi kurikulum (yang baru sekalipun), menjadi guru di semua kelas di beberapa sekolah, ia menyadari perlu banyak belajar agar bisa mencapai posisi tertinggi. Dengan harapan, akan banyak perubahan yang bisa ia buat demi kemajuan sekolah.

https://genpi.id
Pengalaman kedua, lintas pengalaman. Jadi Kepsek bukan tujuan ketika masih awal mengajar. Bahkan mau mengajar saja ragu-ragu, antara bisa atau tidak, suka atau tidak.
Yang lebih aneh, ia jadi guru lewat jalur yang tak umum. Ia butuh pekerjaan setelah menikah, apa saja. Sebelum melamar jadi guru, ia menggeluti bisnis lukisan yang dianggapnya menguntungkan.
Ia ingin menjualnya lewat sekolah. Sadar tak mau terus-terusan untuk melukis, tapi bingung harus bagaimana lagi. Mungkin ia ingin mencoba pengalaman lain.
Setelah menikahi seorang guru, ia jadi yakin kalau bisa jadi guru dan jalan menuju masa depan mulai terlihat.
Tak seorang pun guru yang bisa dijadikannya contoh karena memang ia tak punya model peran. Cerita-cerita inspiratif pun yang berkaitan dengan guru agar ia lebih semangat juga tidak ia dapatkan. Blank total! Ia menemukan pencerahan saat menempuh S2 Keguruan di salah satu kampus di Amerika.
Dari situlah ia SADAR kalau mengajar ternyata pekerjaan yang asyik, dan ingin membuat anak suka belajar tanpa beban atau kesulitan. Akhirnya ia menemukan beragam solusi, sehingga ia tidak mengalami kesulitan lagi.
Leave a Reply