
guraru.org
Sudah benar-benar enak kah pembelajaran dengan aplikasi mobile?
Kalau dengar atau lihat HP bagus sebangsa Samsung Galaxy seri teratas, iPhone, otak kita pasti akan mikir “wah keren, canggih ini, bisa gini dan gitu.”
Rasa-rasanya kalau dihitung, ada ratusan bahkan ribuan aplikasi yang sangat bermanfaat. Ya, smartphone alias ponsel pintar telah merubah gaya hidup masyarakat dunia. Mulai dari pelosok Papua hingga desa-desa di Rusia.
Mulai dari balita sampai kakek-kakek, mulai subuh sampai malem, benda yang sering dipegang adalah telepon genggam. Bukan buku genggam.
Gaya hidup yang saya maksud adalah cara kita menjalani kehidupan; belanja, beli tiket, belajar, memantau perkembangan tubuh atau jalan raya, memantau perkembangan nilai anak, nonton video, semuanya serba online.
Tinggal klik dan klik, dunia rasanya seperti di tangan kita. Hebat kan ya?
Apalagi zaman sekarang, ledakan pengguna ponsel pintar semakin tumbuh dan meluas. Tak terbendung lagi. Ada iklan HP baru langsung diserbu.
Tentunya, bos perusahaan HP sumringah 24 jam karena angka saldo di rekeningnya bertambah, dari enam ke sepuluh digit.
Salah satu bidang yang merasakan dampak kecanggihan HP adalah pendidikan. Dengannya, guru bisa membuat siswa betah belajar apa saja dan dimana saja.
Guru tinggal membuka aplikasi yang bagus, kemudian memerintahkan muridnya untuk mengunduh juga. Anggap saja muridnya sudah punya HP berkelas, minimal layar lima inci yang murah.

www.liputan6.com
Lalu, si anak pun mulai memainkan jari jemarinya dengan cepat dan lincah. Nonton video tentang alam plus main game edukasi.
Enaknya lagi, siswa bisa memilih sendiri sesuai minatnya. Jadi bukan berdasarkan bab yang ada di buku.
Pokoknya niat belajar dan ngerti. Durasi belajar di luar sekolah bisa diatur sendiri. Setengah jam sudah jenuh, bisa istirahat. Belum ngerti-ngerti tentang materinya, bisa diulang-ulang sampai puluhan kali. Gak bakal marah videonya.
Materinya bisa berupa audio atau audio visual alias video. Keduanya berisi materi yang sama. Hanya selera anak saja yang menentukan mau pilih mana.
Bisa dibilang seperti sistem kerjanya Google. Bebas jam dan tempat kerja, tapi harus selesai dengan waktu yang sudah ditentukan.
Namun sistem belajar yang bebas ini belum bisa diterapkan di Indonesia karena beragam alasan. Kemahalan lah, kuatir anak menyalahgunakan lah, kuatir buku jadi tidak laku lah, dan masih banyak yang lain.
Yang lebih hebat lagi dari sistem ini, setelah anak belajar atau bermain dengan mainan edukasi tentunya, guru bisa mendeteksi langsung, berapa lama anak belajar, berapa jumlah soal benar dan salah.

www.pondoksoft.com
Tapi ini harus membuat aplikasi sendiri. Bukan pakai Youtube. Bukan berarti guru memata-matai anak, tapi ini hanya untuk pendataan. Biar guru memahami perkembangan anak di luar sekolah.
Kalau ada yang nilainya masih rendah padahal setiap hari nonton video, perlu didiagnosa kenapa kok bisa begitu. Sesepele apapun masalahnya – seperti audionya kecepetan – harus diperhitungkan demi kepahaman anak.
Dengan pertumbuhan yang amat masif ini, bukan hanya pabrik HP saja yang diuntungkan, tapi juga para pemilik aplikasi. Mereka bisa dapat keuntungan lewat iklan atau sistem premium alias berbayar. Kalau ditotal, industri aplikasi HP bisa sampai triliunan.
Melihat perkembangan gaya hidup anak milenial zaman sekarang ini pastinya bisa jadi ladang emas bagi mereka. Membuat HP dan aplikasi sekeren mungkin demi kepuasan konsumen setia.
Termasuk para pelajar. Apakah mereka berniat merusak karakter anak bangsa? Saya kira tidak. Rusak tidaknya tergantung orang tua dan guru.
Kalau bisa cara mendidiknya, anak akan tetap nurut kok. Kalau dibiarkan begitu saja itu yang bahaya, kecuali ada aplikasi khusus yang dijamin anak ndak akan bisa membuka konten terlarang. Konten bisa berupa video, teks dalam website, dan gambar.
Malahan, anak itu harus mengerti teknologi. Tahu sendiri kan kalau sekarang ini sudah serba canggih. Ngerjakan tugas plus mengumpulkannya pakai laptop. Belajar bisa pakai HP atau tablet komputer.
Cari referensi tambahan harus buka internet. Ini bukan hal baru. Sudah terjadi sejak tahun 2000an. Hanya saja waktu itu internet masih belum sepesat sekarang. Masih ke warnet.
Lha kalau sekarang bisa pakai modem USB atau wifi. Biayanya pun ndak mahal-mahal amat kok. Manfaatnya luar biasa. Hanya dengan sekian ratus ribu saja, anak bisa nonton puluhan video, membuka puluhan website yang bergizi.
Masih ingat zamannya VCD? Satu VCD yang asli bisa sampai puluhan bahkan mungkin ratusan ribu. Satu buku juga. Bahkan ada juga yang sampai jutaan untuk paketan. Isinya ada yang lima bahkan lebih.
Tapi, kadang buku juga masih diperlukan. Bukan kalah sepenuhnya.
Kenapa anak harus ngerti teknologi selain yang saya jelaskan di atas? Persaingan kerja semakin ketat. Tuntutan akan penguasaan teknologi juga semakin tinggi. Dengan menguasai tekno, anak didik dipastikan akan mampu bersaing dengan yang lain. Apalagi kreatif, tambah bagus sekali.
Pekerjaan pun akan cepat selesai, sehingga efeknya pelanggan akan puas karena dilayani dengan cepat. Bayangkan kalau karyawan yang kerja di instansi pemerintahan mencari lembaran KK, KTP dan dokumen lain pakai manual.
Lembar per lembar dicari dengan tangan, ndak pakai nomer urut, cuma dijadikan satu map besar. Map nomer 1 ndak ada cari di map nomer 2. Masih ndak ada nyari lagi. Sampai setengah jam. Buang-buang waktu kan?
Leave a Reply