
https://eljohnnews.com
Bagi sekolah yang belum mengaplikasikan sistem ini, mereka perlu banyak kertas untuk mencatat RPP, Silabus, soal UTS dan UAS, buku nilai, dan buku panduan.
Mengolah nilainya pun perlu waktu beberapa jam (paling cepat).
Sebenarnya, kertas bukan dihilangkan sama sekali untuk membuat dokumen.
Hanya saja, DIMINIMALKAN. Kalau bisa membuat beberapa lembar saja, kenapa harus puluhan? Selain waktunya lama, fisik dan mental sudah lelah setelah mengajar seharian.
Resikonya, keluarga kurang terurus karena pulang istirahat, sore atau malam mengerjakan perangkat. Itu berlangsung selama bertahun-tahun.
Kasihan anak kalau mereka ingin bermain dengan ayah atau ibunya. Apalagi kalau keduanya sama-sama mengajar.
Padahal, kalau dipikir-pikir, esensi dari perangkat pembelajaran adalah apa yang diajarkan, bagaimana caranya, berapa lama waktunya, apa hasil yang diharapkan.
Beberapa pertanyaan ini saja sudah cukup. Selesai. Kenapa harus panjang-panjang KALAU BISA diringkas?
Bahkan bila perlu, durasi pelajarannya pun diperpendek. Namun ini relatif. Harus melihat kondisi anak dan faktor lain.
Misal, ada anak yang belajarnya tidak bisa lama-lama karena daya rekamnya rendah. Sedangkan sebagian temannya inginnya dijelaskan lebih lama.
Nah, tentu ini bisa membuat guru bingung. Jadi harus ada ide brilian bagaimana membuat metode yang pas untuk menjelaskan materi pada anak-anak dengan perbedaan kemampuan tadi.
Kembali ke sistem (e-learning). Kalau menghitunganya pakai MS Excel atau aplikasi khusus, masih bisa cepat meski harus mengetik angka nilai satu persatu.
Tapi kalau pakai kalkulator, ya maaf, selamat menikmati kerja ekstra dengan lembur. Ndak efektif kan akhirnya?
Penelitian terkait pembelajaran elektronik memang menarik perhatian. Sebuah buku ditulis oleh Russel, peneliti yang mengupas tentang kekuatan e-learning.
Bukunya menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara media belajar elektronik dan non-elektronik yang digunakan dalam KBM.
Karena yang terpenting adalah bagaimana cara guru menyampaikan materinya, meski dengan metode ceramah dan tanya jawab.
Meski tak ada perbedaan jauh, e-learning memang bisa membuat peserta didik lebih semangat, senang dan mudah memahami materi.
Kita tidak bisa menyamakan kemampuan anak dalam belajar. Ketika banyak anak yang sebenarnya bisa belajar tanpa bantuan video, gambar dan grafis, bukan berarti itu ukuran pasti kalau e-learning tidak efektif.
Kebanyakan hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini bisa memberikan manfaat yang besar daripada model konvensional dengan tatap muka saja.
Manfaat yang didapat yaitu belajar lebih menyenangkan, guru lebih efektif dalam mengajar karena tidak banyak menggunakan buku sehingga hemat biaya dan bisa cepat memberikan hasil belajar berupa nilai detik itu juga.
Jadi, ukuran untuk pembelajaran adalah ketika anak cepat paham, mampu mempraktikkannya di dan luar kelas, yaitu dengan pembelajaran elektronik berbasis komputer.

https://www.educenter.id
Level 3: Kelakuan
Banyaknya pelajaran yang diajarkan bukan jaminan bisa membuat peserta didik menjadi hebat, baik teori maupun keterampilan.
Malah bisa bikin pusing. Lha gimana, anak kuat di hafalan, disuruh menganalisa angka.
Perubahan kelakuan anak adalah harapan dari setiap guru pada level ini.
Masalahnya, cara mengukurnya tidak segampang memberi nilai tugas. Kalau tugas kan jelas, betul semua dapat 100. Sedangkan kelakuan berhubungan dengan perasaan.
Kalau guru bisa mengubah tingkah anak didiknya dari malas menjadi rajin, itu adalah keuntungan baginya.
Meski tingkah laku sulit diukur, tapi berdasarkan penelitian ternyata bisa. Dibuktikan oleh peneliti Amerika bahwa mengukur hasil belajar lebih penting daripada hanya mengevaluasinya.
Mengukur bukan hanya tahu nilainya, tapi seberapa jauh materi yang diajarkan berdampak pada keterampilan anak. Kita semua sudah banyak yang terjebak dalam pemikiran “nilai bagus berarti pintar.”
Tidak salah sih, cuma kurang betul. Anak yang hafal rumus Matematika dan paham teori Ekonomi, apa ada jaminan dia bisa dagang?
Siswa yang hafal rumus Tenses apa sudah pasti dia bisa cas cis cus (ngobrol) bahasa Inggris?
PPKn dan Pancasila yang dihafal setiap anak apakah sudah menjadikannya anak yang benar-benar berbakti pada orang tua dan bangsa?
Bisa jadi nilainya 9 berbaris ke bawah, tapi belum tentu praktiknya bisa. Itulah salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa ini, kebanyakan teori minim praktik.
Jadi sewaktu anak sudah bekerja, ia cuma tahu teorinya. Bingung harus bagaimana. Sedangkan guru hanya mengajar, menilai, dan mendoakan.
Poin yang terakhir sangat bagus, tapi doa akan lebih bagus jika diimbangi pembekalan skill yang mumpuni.

https://www.matamatapolitik.com
Level 4: Hasil
Saatnya melihat hasil. Level ini tidak sulit dilakukan, asal sudah ada prosedurnya. Anda membuat sekian soal, satu soal bernilai sekian, kalau betul semua nilainya seratus, kalau salah sekian nilainya sekian.
Nah, dengan memadukan reaksi – senang belajar dengan e-learning– (reaksi), mereka dapat ilmu untuk dipraktikkan (pembelajaran), semangat belajar jadi bertambah (kelakuan), sehingga hasilnya memuaskan. Efektif deh!
Kesimpulannya, Anda bisa pakai metode apa saja untuk mengetahui cara yang efektif mengukur e-learning. Perbedaan antara ROI dengan Kirkpatrick hanya satu: perhitungan.
ROI memakai perhitungan yang sangat detil untuk membeli segala alat dan program e-learning, sedangkan Kirkpatrick dengan pengamatan psikologi.
Cukup dengan “apa dan bagaimana” agar harapan guru menjadikan muridnya cerdas yang terampil terpenuhi.
You’re so interesting! I do not think I’ve read something like that before. So wonderful to find another person with genuine thoughts on this subject. Really.. thanks for starting this up. This site is one thing that is required on the web, someone with a bit of originality!
thank you for appreciating